Wednesday, February 16, 2011

Niat ini hanya untukMu....



Niat, ada kaitannya dengan keikhlasan, sangat erat hubungannya dengan ketauhidan (tidak mempersekutukan Allah dengan apapun), dan sama dalam banyak segi bahasanya dengan kata “motivasi”.

Kata seorang ulama, perkara kecil menjadi besar (nilainya/pahalanya) dikarenakan niat, dan perkara besar menjadi kecil dikarenakan niat.

Karena itu, sangat sangat sangatlah penting untuk selalu menata niat di awal suatu perbuatan. Sesuatu yang sudah rutin kita lakukan, sering luput dari penataan niat yang benar, sehingga kita menjadi jenuh, bosan, bahkan akhirnya hilang ketertarikan terhadapnya. Hanya dengan menata niat yang lurus kepada Allah, sesuatu yang rutin, yang cenderung memeras waktu, memakan tenaga, menguras pikiran, membosankan jiwa, bisa tetap menjadi amal yang kita lakukan dengan sepenuh hati karena kita tahu dalam menata niatnya.

Bahkan, perbuatan baik belum tentu dibalas kebaikan kalau ternyata kita menyembunyikan pamrih. Kalaupun orang tak mengetahuinya, sungguh Allah mengetahui bisikan di hati selirih apapun. Godaan syetan akan selalu datang, dan hati tak boleh mudah dirayu. Setiap kali merasa hati terbujuk oleh rayuan syetan untuk menghitung-hitung dalam beramal demi faktor duniawi, maka saat itulah hati harus segera diajak kembali kepada Allah.

Dari Abu Hurairah yang berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang pertama kali diadili pada hari kiamat adalah seseorang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan kemudian ditampakkan kepadanya nikmat-nikmat yang diberikan kepadanya maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang kamu lakukan dengannya?” Dia menjawab, “Aku berperang untuk-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau berperang karena ingin disebut sebagai pemberani. Dan itu sudah kau dapatkan.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.

Kemudian seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya dan juga membaca Al Quran. Dia didatangkan kemudian ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang sudah didapatkannya dan dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kau perbuat dengannya ?” Maka dia menjawab, “Aku menuntut ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Quran karena-Mu.” Allah berfirman, ”Engkau dusta, sebenarnya engkau menuntut ilmu supaya disebut orang alim. Engkau membaca Quran supaya disebut sebagai Qari’.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka
Kemudian ada seseorang yang telah mendapatkan anugerah kelapangan harta. Dia didatangkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang diperolehnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apakah yang sudah kamu perbuat dengannya?” Dia menjawab, “Tidaklah aku tinggalkan suatu kesempatan untuk menginfakkan harta di jalan-Mu kecuali aku telah infakkan hartaku untuk-Mu.” Allah berfirman, “Engkau dusta, sebenarnya engkau lakukan itu demi mendapatkan julukan orang yang dermawan, dan engkau sudah memperolehnya.” Kemudian Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya tertelungkup di atas wajahnya hingga dilemparkan ke dalam neraka.”

(Diriwayatkan oleh Muslim dan Nasai, dan diriwayatkan oleh Tirmidzi dan ia menghasankannya, dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya)


Tapi, bukan berarti dengan demikian kita menjadi takut berbuat baik. Sungguh, tidak ada satu amalan yang bebas bersih dari noda bisikan syetan. Yang ada, adalah bagaimana usaha kita dalam menjaga amalan itu untuk tetap lurus mengharap ridha Allah.

Maka, ujiannya adalah ketika pujian atau cacian datang. Bagaimanakah tanggapan kita? Kalau kita menjadi sumringah dan besar kepala karena pujian, atau menjadi masam dan kecil hati karena cacian, maka bisa jadi kita salah menaruh pondasi niat kita. Telah kita letakkan pondasi niat itu di bawah bangunan duniawi yang rapuh, sehingga mudah rapuh oleh cacian dan pujian.

Orang yang ikhlash, adalah sama saja, ketika mendapat pujian atau cacian. Karena dia tidak melihat pandangan manusia, dia hanya mengharap keridhaan Allah Ta’ala.

Syaikh Hasan Al Banna,

“Yaitu setiap muslim meniatkan dengan perkataannya, perbuatannya dan jihadnya seluruhnya hanya untuk Wajah Allah, mengharap keridhaanNya dan kebaikan ganjaranNya, tanpa melihat kepada harta atau kemasyhuran atau kedudukan atau pangkat atau kemajuan atau kemunduran. Dan dengan demikian ia pejuang fikrah dan aqidah, bukan pejuang kepentingan dan kemanfaatan.”

Biarkan Allah yang menilai hati dan amalan kita. Jangan kita berharap pada sesama ciptaan-Nya yang fana, jangan pula terhenti untuk bercermin karena pujian, jangan pula berbalik ke belakang karena cacian. Seberapa banyak amal baik kita, dan seberapa baik amal baik kita, tetap saja Allah yang Maha Mengetahui siapa di antara kita yang paling bertaqwa.

“…Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS An-Najm: 32)


No comments:

Post a Comment